Kurikulum
memiliki lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3) strategi,
pembelajaran; (4) organisasi kurikulum dan (5) evaluasi. Kelima komponen
tersebut memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan. Untuk lebih
jelasnya, di bawah ini akan diuraikan tentang masing-masing komponen tersebut.
A. Tujuan
Mengingat
pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan
para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam
teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan
sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing.
Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki
esensi yang sama.
Pada tingkat
operasional ini, tujuan pendidikan dirumuskan lebih bersifat spesifik dan lebih
menggambarkan tentang “what will the
student be able to do as result of
the teaching that he was unable to do before” (Rowntree dalam Nana Syaodih Sukmadinata, 1997). Dengan kata lain,
tujuan pendidikan tingkat operasional ini lebih menggambarkan perubahan
perilaku spesifik apa yang hendak dicapai peserta didik melalui proses
pembelajaran. Merujuk pada pemikiran Bloom, maka perubahan perilaku tersebut
meliputi perubahan dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
Upaya
pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti yang sangat penting..
Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran pada tingkat operasional ini akan
menentukan terhadap keberhasilan tujuan pendidikan pada tingkat berikutnya.
Terlepas dari
rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan kurikulum sangat terkait erat
dengan filsafat yang melandasinya. Jika kurikulum yang dikembangkan
menggunakan dasar filsafat klasik (perenialisme, essensialisme,
eksistensialisme) sebagai pijakan utamanya maka tujuan kurikulum lebih banyak
diarahkan pada pencapaian penguasaan materi dan cenderung menekankan pada upaya
pengembangan aspek intelektual atau aspek kognitif.
Apabila kurikulum
yang dikembangkan menggunakan filsafat progresivisme sebagai pijakan utamanya,
maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada proses pengembangan dan aktualisasi
diri peserta didik dan lebih berorientasi pada upaya pengembangan aspek
afektif.
Pengembangan
kurikulum dengan menggunakan filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar
utamanya, maka tujuan pendidikan banyak diarahkan pada upaya pemecahan masalah
sosial yang krusial dan kemampuan bekerja sama.
Sementara
kurikulum yang dikembangkan dengan menggunakan dasar filosofi teknologi
pendidikan dan teori pendidikan teknologis, maka tujuan pendidikan lebih
diarahkan pada pencapaian kompetensi.
Dalam
implementasinnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan dengan tantangan yang
sangat kompleks boleh dikatakan hampir tidak mungkin untuk merumuskan
tujuan-tujuan kurikulum dengan hanya berpegang pada satu filsafat, teori
pendidikan atau model kurikulum tertentu secara konsisten dan konsekuen. Oleh
karena itu untuk mengakomodir tantangan dan kebutuhan pendidikan yang sangat
kompleks sering digunakan model eklektik, dengan mengambil hal-hal yang terbaik
dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang ada, sehingga dalam
menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan secara bereimbang.
B. Materi
Pembelajaran
Dalam
menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan
teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa
pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme,
essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal
yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan
sistematis, dalam bentuk :
- Teori; seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan – hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
- Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan, merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
- Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
- Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.
- Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan peserta didik.
- Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
- Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.
- Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau pendapat.
- Definisi:yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis besarnya.
- Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.
Dengan melihat
pemaparan di atas, tampak bahwa dilihat dari filsafat yang melandasi
pengembangam kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan materi
pembelajaran. Namun dalam implementasinya sangat sulit untuk menentukan materi
pembelajaran yang beranjak hanya dari satu filsafat tertentu., maka dalam
prakteknya cenderung digunakan secara eklektik dan fleksibel.
Berkenaan
dengan penentuan materi pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,
pendidik memiliki wewenang penuh untuk menentukan materi pembelajaran, sesuai
dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai dari setiap
kegiatan pembelajaran. Dalam prakteknya untuk menentukan materi pembelajaran
perlu memperhatikan hal-hal berikut :.
1. Sahih (valid); dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-benar
telah teruji kebenaran dan kesahihannya. Di samping itu, juga materi yang
diberikan merupakan materi yang aktual, tidak ketinggalan zaman, dan memberikan
kontribusi untuk pemahaman ke depan.
2. Tingkat kepentingan; materi yang dipilih benar-benar diperlukan peserta didik. Mengapa dan sejauh mana materi tersebut
penting untuk dipelajari.
3. Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis maupun non akademis. Manfaat akademis
yaitu memberikan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang akan
dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan lebih lanjut. Sedangkan
manfaat non akademis dapat mengembangkan kecakapan hidup dan sikap yang dibutuhkan
dalam kehidupan sehari-hari.
4. Layak dipelajari; materi memungkinkan untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat kesulitannya (tidak terlalu
mudah dan tidak terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya terhadap pemanfaatan
materi dan kondisi setempat.
5. Menarik minat; materi yang
dipilih hendaknya menarik
minat dan dapat
memotivasi
peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa ingin tahu
sehingga memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri kemampuan mereka.
C.
Strategi pembelajaran
Telah disampaikan di atas bahwa dilihat dari
filsafat dan teori pendidikan yang melandasi pengembangan kurikulum terdapat
perbedaan dalam menentukan tujuan dan materi pembelajaran, hal ini tentunya
memiliki konsekuensi pula terhadap
penentuan strategi pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi
tujuan dalam pembelajaran adalah penguasaan informasi-intelektual,–sebagaimana
yang banyak dikembangkan oleh kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya ataupun keabadian, maka strategi pembelajaran
yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru. Guru merupakan tokoh sentral
di dalam proses pembelajaran dan dipandang sebagai pusat informasi dan
pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai obyek yang secara
pasif menerima sejumlah informasi dari guru. Metode dan teknik pembelajaran
yang digunakan pada umumnya bersifat penyajian (ekspositorik) secara massal,
seperti ceramah atau seminar. Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat
tekstual.
Strategi
pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi dari kalangan
progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam
suatu proses pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik
secara aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan
kebutuhannya, sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk
memperoleh materi dan mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat
pada peserta didik mendapat dukungan dari kalangan rekonstruktivisme yang
menekankan pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika kelompok.
Pembelajaran
cenderung bersifat kontekstual,
metode dan teknik pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian
dari guru tetapi lebih bersifat individual, langsung, dan memanfaatkan proses
dinamika kelompok (kooperatif), seperti : pembelajaran moduler, obeservasi,
simulasi atau role playing, diskusi, dan sejenisnya.
Dalam hal ini,
guru tidak banyak melakukan intervensi. Peran guru hanya sebagai fasilitator, motivator dan guider. Sebagai fasilitator, guru
berusaha menciptakan dan menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi
peserta didiknya. Sebagai motivator, guru berupaya untuk mendorong dan
menstimulasi peserta didiknya agar dapat melakukan perbuatan belajar. Sedangkan
sebagai guider, guru melakukan pembimbingan dengan berusaha mengenal para
peserta didiknya secara personal.
Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran
berbasis teknologi yang menekankan pentingnya penguasaan kompetensi membawa
implikasi tersendiri dalam penentuan
strategi pembelajaran. Meski masih bersifat penguasaan materi atau kompetensi
seperti dalam pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologis masih
dimungkinkan bagi peserta didik untuk belajar secara individual. Dalam
pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta didik untuk belajar tanpa tatap
muka langsung dengan guru, seperti melalui internet atau media elektronik
lainnya. Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih cenderung sebagai director of learning, yang berupaya
mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan
belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya.
Berdasarkan
uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan untuk menentukan strategi
pembelajaran dan setiap strategi pembelajaran memiliki kelemahan dan
keunggulannya tersendiri.
D.
Organisasi Kurikulum
Beragamnya
pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum memunculkan terjadinya
keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum. Setidaknya terdapat enam ragam
pengorganisasian kurikulum, yaitu:
1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari
sejumlah mata pelajaran yang
terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dengan mata
pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan tidak
mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi
diberikan sama
2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai
akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan
pokok-pokok yang saling berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami
pelajaran tertentu.
3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran
yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan (difungsikan)
dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan “core
subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core tersebut.
4. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada
kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah, dimana masalah-masalah diambil
dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan
melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata
pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara
terintegrasi.
6. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara organisasi kurikulum yang terpusat pada
mata pelajaran dan peserta didik.
E.
Evaluasi Kurikulum
Evaluasi
merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi
kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan
pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Wright bahwa : “curriculum evaluation may be defined as the estimation of growth and progress of students toward
objectives or values of the curriculum”
Sedangkan dalam pengertian
yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja
kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator kinerja
yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga
relevansi, efisiensi, kelaikan (feasibility)
program. Sementara itu, Hilda Taba menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam
kurikulum, yaitu meliputi ; “ objective,
it’s scope, the quality of personnel in charger of it, the capacity of students, the relative
importance of various subject, the degree to which objectives are implemented,
the equipment and materials and so on.” Pada bagian lain, dikatakan bahwa
luas atau tidaknya suatu program evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh
tujuan diadakannya evaluasi kurikulum. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk
mengevaluasi keseluruhan sistem kurikulum atau komponen-komponen tertentu saja
dalam sistem kurikulum tersebut. Salah satu komponen kurikulum penting yang
perlu dievaluasi adalah berkenaan dengan proses dan hasil belajar siswa.
Agar hasil
evaluasi kurikulum tetap bermakna diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu.
Dengan mengutip pemikian Doll, dikemukakan syarat-syarat evaluasi kurikulum
yaitu “acknowledge presence of value and
valuing, orientation to goals,
comprehensiveness, continuity, diagnostics worth and validity and integration.”
Evaluasi
kurikulum juga bervariasi, bergantung pada dimensi-dimensi yang menjadi fokus
evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan adalah dimensi
kuantitas dan kualitas. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi diemensi
kuantitaif berbeda dengan dimensi kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk
mengevaluasi dimensi kuantitatif, seperti tes standar, tes prestasi belajar,
tes diagnostik dan lain-lain. Sedangkan, instrumen untuk mengevaluasi dimensi
kualitatif dapat digunakan, questionnare, inventori, interview, catatan anekdot
dan sebagainya
Evaluasi
kurikulum memegang peranan penting, baik untuk penentuan kebijakan pendidikan
pada umumnya maupun untuk pengambilan keputusan dalam kurikulum itu sendiri.
Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan
pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan
kebijakan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang
digunakan.
Hasil – hasil evaluasi kurikulum juga dapat
digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya
dalam memahami dan membantu perkembangan peserta didik, memilih bahan
pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian serta
fasilitas pendidikan lainnya.
Komentar
Posting Komentar